Herman Wanggai, Aktivis Papua yang Kabur dari Lapas dan Jadi DPO
Herman Wanggai, aktivis asal Papua yang mendapat suaka politik di Australia, ternyata berstatus buronan polisi setelah kabur dari Lapas Abepura. Perjalanan hidupnya mencerminkan tarik-menarik antara idealisme politik, perjuangan HAM, dan hukum di Indonesia.
JAYAPURA – JAGOK.CO – Nama Herman Wanggai, salah satu warga Papua yang sempat memperoleh suaka politik di Australia, kembali mencuat setelah diketahui bahwa ia ternyata berstatus sebagai buronan polisi. Herman diketahui melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura, Jayapura, ketika baru menjalani hukuman satu tahun dari vonis dua tahun penjara.
Herman bukan nama asing di kalangan aktivis Papua. Ia merupakan satu dari 42 warga Papua yang menerima suaka politik dari Pemerintah Australia, dikenal sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat yang kerap bersuara lantang memperjuangkan hak-hak asasi rakyat Papua. Namun, perjalanan aktivismenya kemudian bergeser menjadi dukungan terbuka terhadap gerakan Papua Merdeka.
Jejak Awal dan Pengaruh Pamannya
Herman Wanggai lahir dan dibesarkan di Jayapura. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan wacana politik melalui pamannya, mendiang Doktor Thomas Wainggai, pendiri Kelompok Melanesia Barat atau Bintang 14. Thomas Wainggai dijatuhi hukuman 20 tahun penjara setelah mengibarkan bendera Melanesia Barat pada 14 Desember 1988—sebuah peristiwa yang hingga kini dianggap simbol perlawanan politik di Tanah Papua.
Ketika pamannya ditangkap, Herman yang kala itu masih duduk di bangku kelas tiga SMP ikut dibawa ke kantor polisi. Ia sempat ditahan, namun akhirnya dibebaskan karena masih di bawah umur. Meski dikenal pendiam, masyarakat kampungnya tahu bahwa Herman memiliki pemikiran politik yang tajam dan idealisme kuat sejak muda.
Aktivis yang Berubah Haluan
Seiring bertambah usia, Herman semakin aktif dalam berbagai diskusi politik. Ketua Elsham Papua, Aloysius Renwarin, mengenalnya sebagai aktivis yang gemar menggelar diskusi seputar isu kemerdekaan dan hak-hak masyarakat adat Papua. Sedangkan sepupunya, Edison Waromi—yang kini menjabat sebagai Presiden Eksekutif Otorita Nasional Papua—menyebut Herman sering dikirim oleh Kelompok Melanesia Barat ke luar negeri untuk menggalang dukungan internasional bagi gerakan Papua Merdeka.
Namun, idealismenya berujung di balik jeruji. Pada 14 Desember 2002, Herman bersama Edison dan tiga rekannya ditangkap aparat kepolisian karena kembali mengibarkan bendera Melanesia Barat di Kampus Universitas Cenderawasih, Jayapura. Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada mereka.
Kabur dari Lapas Abepura
Kepala Lapas Abepura, Johan Yarangga, membenarkan bahwa Herman kabur ketika menjalani program asimilasi pendidikan di Universitas Cenderawasih. Pelarian itu terjadi setelah ia baru satu tahun menjalani masa hukuman. Sejak saat itu, Herman resmi masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pihak berwenang menduga kepergian Herman ke Australia bersama 42 warga Papua lainnya bukan semata karena alasan politik, melainkan juga sebagai upaya melarikan diri dari jerat hukum. Status DPO-nya membuat ia tak bisa kembali ke Indonesia tanpa mempertanggungjawabkan kasus pelariannya.
Hidup di Luar Negeri dan Aktivitas Kontroversial
Meski kini menetap di luar negeri, Herman Wanggai tetap aktif menyuarakan isu Papua di berbagai forum internasional. Ia kerap tampil dalam seminar dan wawancara media asing, menyuarakan narasi pelanggaran HAM dan seruan kemerdekaan Papua. Namun, menurut sejumlah pengamat, tindakannya sering dinilai sebagai provokasi terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Beberapa lembaga keamanan menilai aktivitas Herman di luar negeri tidak lagi murni advokasi hak asasi manusia, melainkan bentuk agitasi politik yang bisa memperkeruh situasi di Tanah Papua. Pemerintah Indonesia melalui aparat penegak hukum masih memasukkan namanya dalam daftar pengawasan internasional.
Catatan Redaksi:
Kisah Herman Wanggai menjadi potret kompleksnya persoalan politik dan identitas di Papua. Dari aktivis HAM hingga menjadi buronan, perjalanannya mencerminkan tarik-menarik antara idealisme, nasionalisme, dan realitas hukum. Apa pun latar belakangnya, setiap perjuangan seharusnya tetap berada dalam koridor hukum dan mengedepankan dialog, bukan pelarian.






















